TIDAK ADA YANG SALAH DENGAN UKURAN LEMARI BAJUMU

Friday, February 08, 2019



Saya sering sekali mendengar banyak orang mengeluh dan bilang “kayaknya saya harus beli lemari baju lagi deh, yang ini kekecilan, udah gak muat nampung baju-baju yang saya punya”. Seperti saya, dari jaman SMA saya udah punya baju segunung banyaknya, semenjak itu saya selalu punya cita-cita yang sampai menikah belum berubah “saya mau punya walk-in closet!” itu lemari baju terbuka yang ukurannya bisa dijadikan kamar, saking bisa muat tempat tidur. Kenapa? Simply karena menurut saya “semakin gede storage maka akan semakin cantik dan tertata baju-baju saya yang segunung ini”. Beruntunglah saya, impian ini langsung gugur ketika mengenal KonMari Method by Marie Kondo di tahun 2017 silam. Thanks God I found her. Kalau enggak, gak kebayang saya sang penyuka perintil dan hoarder akan segala macam benda (yang paling parah baju) pasti bakal sengsara karena cuma hidup dikelilingi banyak benda yang sebenarnya gak Spark Joy buat saya and worst is when all the things are things that I don’t actually need it dan tidak ada manfaatnya sama sekali buat selalu dibawa terus ke dalam kehidupan kedepannya.


ukuran lemari di rumah dulu
Kepindahan saya ke Langkawi akhir Desember lalu membuka mata saya lebih lebar lagi dan membuat saya bersyukur karena saya mengimplementasikan setiap detail yang Marie tulis dalam 2 bukunya, The Life Changing Magic of Tidying Up dan Spark Joy. Saya sudah selesai melakukan tidying festival dengan KonMari Method. Dan cukup 1x seumur hidup saja saya melakukan major tidying up seperti itu, bisa dicek cerita saya waktu itu disini. Sejak sampai di rumah baru, hal pertama yang langsung saya highlight adalah LEMARI. I feel something is not right, the size is smaller than our previous lemari di rumah Singapore dulu. So drawer didalamnya juga berukuran lebih kecil. Ini gak bakal muat, batin saya. Apa perlu saya beli lemari sendiri yang lebih besar, tapi sayang duitnya ah! Oh gimana kalau nego sama landlordnya minta beliin, lalu sekitar 1 minggu karena sibuk unpacking juga belum sempet-sempet beresin baju, secara visual semakin cluttered karena saya belum melipat dengan baik dan cuma meletakannya sembarangan aja dalam lemari membuat saya semakin skeptis berpikir duh ini gue harus discard berapa baju lagi coba biar muat!  


Sampai pada suatu siang saya coba untuk menata isi lemari yang hanya berukuran 75% besarnya dari lemari saya sebelumnya, artinya saat itu saya sudah pada mentalitas SIAP untuk mensortir dan membuang 25% baju yang saya enggak suka-suka banget kalau pada akhirnya memang gakbisa muat. Saya melipat kembali seluruh baju yang saya punya, saya tata satu persatu, setelah hampir 3 jam menata semua isi lemari ini, sayapun kaget bahwa: Hah, kok bisa muat ya? Padahal gak ada yang dipaksa-paksa masukin, disumpel-sumpelin. Bener deh, semuanya masih sama. There’s none of my clothes that I discard. Thank you for 2 additional Muji drawers! Dan saya puas banget walau lemari saya yang sekarang gak semodern, gak setinggi, dan gak sebesar lemari built-in di rumah dulu namun secara fungsi lemari ini tetap berhasil memenuhi kebutuhan saya untuk tempat menyimpan semua pakaian dan sedikit aksesoris dan tas saya. Saya gak perlu pusing mau minta beliin laci tambahan lagi atau lemari baru lagi.


Moral of the story: storage yang besar selalu membuat kita berpikiran bahwa masih ada space tambahan buat menyimpan sesuatu, so we tend to store everything dengan cara yang tidak begitu space efficient. 


Seperti aksesoris anting-anting yang saya gantung di lemari, padahal bisa diletakkan dalam kotak akrilik khusus small things yang saya sudah punya. Walau simpan baju dengan Japanese folding seperti itu terlihat efficient, ternyata nggak juga, kalau container yang kita pilih untuk meletakkan benda-benda tersebut besar. Kenapa saya gak sadar beli wadah-wadah sebesar itu padahal yang lebih kecilpun bisa muat kok? Permainan visual tadi jawabnya, karena merasa laci saya besar, saya santai aja beli wadah yang besar juga (padahal sekarang saya pakai wadah berukuran lebih kecil ternyata cukup), toh nanti bakal muat juga kok di lacinya. Belum lagi karena tau lacinya besar, karena tau lemarinya besar saya jadi kurang cermat dalam proses foldingnya, bentuk foldingnya masih gak sama lalu ketika diberdirikan dilemari jadi kurang compact, karena gak flat, isinya jadinya cuma udara kan, looks full but it isn’t! Gak kebayang kalau punya walk-in closet pasti bawaaan pengen nambah baju melulu karena masih banyak space yang tersisa. 


Isi lemari kesemuanya itu ketika dipindahkan ke lemari yang sekarang tetap sama aja. Tidak ada volume pakaian yang berkurang. Lemari model lama ini bisa kan lah ya bayanginnya ini ukurannya sebesar apa, ukuran standar lah udah bisa masuk segala jenis baju, baju tidur, baju kerja, baju jalan-jalan, baju casual, baju yoga, baju kondangan, coat dan jaket winter, baju thermal, sweater, shawl (ini kategory bulky items semua), dress formal, dress pantai, pakaian dalam, aksesoris, hijab, mukena, plus 4 boneka gendut.


Setelah baca paragraf ini mungkin akan timbul pertanyaan “Situ bajunya dikit kali ya? Situ tinggalnya gak di negara 4 musim sihhh, gak banyak kan jadinya yg bulky, gak harus masuk keluarin baju every seasons changing.
Hhmmm, okay jawaban saya adalah: baju saya tidak sedikit, bisa dibilang termasuk banyak juga loh, saya belum sampai pada level minimallism yang segitunya cuma punya less than 20pcs baju. Bagi yang udah temenan dan follow saya di Instagram dari lama pasti tau bahwa isi feed saya selalu dengan baju yang beda-beda secara kan mau dipakai OOTD ya heheh and I simply don’t like pake baju yang itu lagi itu lagi kalau ketemu orang, kalau yoga, kalau traveling, terlebih kalo buat di foto -demi estetika- #recehreason. So yes baju saya tidak sedikit. Baju saya tidak sedikit tapi baju saya CUKUP jumlahnya.


Cukup sesuai kebutuhan saya, cukup jumlah baju rumahan buat masak, cukup jumlah baju jalan-jalan, cukup jumlah baju nongkrong di pantai, cukup baju meeting agak formal, cukup baju buat agak fancy dinner atau kondangan, cukup bervariasi buat dipakai foto OOTD haha, dan yang paling penting cukup untuk bisa muat di lemari saya.
Setelah menggabungkan KonMari Method, Minimallism, dan Zero Waste, saya jadi semakin conscious. Semakin conscious buat keep yang Spark Joy buat saya itu udah pasti. 
Semakin conscious untuk menahan diri untuk gak beli baju kalau bahannya polyester (unless bener-bener secinta mati itu dan emang butuh banget buat hadir dalam event apalah misalnya, so far alhamdulilah belum pernah), so jadi lebih mudah buat ngerem hawa nafsu beli baju-baju fast fashion. 
Semakin conscious buat mikir 1000x udah gak berhenti pada pertanyaan “Do I really need this? Do I already have same model and same color? Do I buy this because of the discount?” aja but now I have another questions I need to ask and answer myself before I’m going to the cashier like “How happy and content my life when I already have it? Do I want to cherish this clothes in the very long term, or I just buy this because I have the money and I’m in the mood to buy it? When I buy it then where and how this is going to be stored, is my wardrobe still can fit in? If not, am I ready to discard other for the sake keep the new one? Because it is probably will end up in LANDFILL!”


Sesuai kata KonMari di bukunya bahwa that the way of changing clothes in every seasons itu sebenernya juga udah gak relevan-relevan banget. Come on, do you see people using sweater during summer and using sleeveless in winter? Because the air-conditioned room and heater room does exist, so why should bother changing all clothes every seasons? She said, she and her clients store all the winter clothes and never put inside the box and hide it somewhere. It easier, because you never forget and not end up buying the same model and color sweater again! For those who really don’t have storage can suck the air up by vacuum, so it will be less bulky to be stored. If dia dan banyak clientsnya yang tinggal di negara 4 musim aja bisa mengimplementasikan itu, why I shouldn’t?
Saya cuma keep 1 coat dan 1 jaket winter, lahiya wong itu juga dipake setahun lalu. Terus kalo liburan winter lagi gimana? Liburannya juga gaktau kapan, so yaudah gak usah dipikirin dulu outfitnya. Unless emang gaya hidup saya selalu winter holiday every year. Daripada keep outfitnya tapi sepanjang tahun kepikiran terus pas liat barangnya berasa sayang gak dipakai jadi beban moral, jadi noise, pas datang kesempatan liburan mau dipakai udah agak mbladus, lembab, plus bekas lipatan yang gak bisa hilang, ujung-ujungnya ogah dipakai lalu beli lagi!. Belum lagi makan tempat.


Karena bener deh seberapa banyak sih jumlah baju yg kita butuhkan seminggu? Sebanyak itukah? Balik ke prinsip minimalis lagi. Terutama buat mayoritas besar golongan kita kan cuma pelajar, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, yoga teacher, freelancer! We are not actress, fashionistas yang harus attend gala setiap minggu, kita juga bukan Astrid Leong. Dan jujur aja sama diri sndiri dari segitu banyaknya baju apa iya smuanya dipakai di tahun itu? Since implement KonMari, smua baju yang ada dilemari saya adalah yg saya suka dan saya terus pakai bergantian, yang spark joy buat saya, gak ada baju saya telantarkan, karena semuanya adil dipakai. Kalau soal lemari bisa disesuaikan dengan pekerjaan mungkin ya, tapi kalau yang cuma kayak saya gini kerja dari rumah dan kebanyakan di rumah saya rasa lemari ukuran standar itu udah cukup. Pas, gak lebih gak kurang. Dan kebanyakan yang baca ini saya yakin termasuk golongan dengan profil kayak saya yang gak segitunya butuh beraneka ragam baju (dan jilbab ya buibuk ahha).


Saya pribadi punya cara-cara khusus menata semua ini hingga sampai pada titik saat ini, titik dimana saya happy pas buka lemari, feel the spark joy, gak ada lagi baju-baju teronggok gak kepake yang clutter dimana-mana. Setidaknya setiap buka lemari ada jarak diantara hanger satu ke hanger yang lain dan semuanya color coordinated. 
- Saya berusaha untuk terus rajin melipat dengan tangan saya sendiri.
While di Indonesia dan di sini mungkin saya justru lebih ada akses buat jadi “pemalas” karena bisa punya helper or just drop aja di laundry kiloan. Kenapa? Karena that’s the ONLY WAY we communicate with our belongings, with our clothes, by touching it we distribute the energy. We will feel that whether the clothes is still suitable with our character or not, with what we currently doing or not, we will feel if we are no longer liking it and we will discover whether we need additional clothes to buy or not. By touching it, we communicate, not only with our belongings but also with our mind.
- Saya menyesuaikan pakaian saya dengan profil kehidupan saya.
Dulu saya adalah tipikal perempuan yang memegang teguh konsep “When I like it I buy it” I don’t really bother if there will be no chance to wear it, because I keep affirming to myself that “Beli aja dulu, mau dipakainya kapan urusan belakangan karena PASTI AKAN KEPAKE KOK!”. I realise this point is a major disaster. Because I will always accumulate it without even have a chance to wear it at all ! Waktu saya tidy up kemarin ada blazer yang saya punya dari jaman SMA masih ada tagnya, can you imagine?
Jadi sekarang kalau saya lihat ada dress bagus tapi formal banget sedangkan saya sekarang udah gak kerja kantoran, saya akan mudah buang muka. Lalu ada atasan keren buat dipake kondangan, tapi kondangan Jakarta, lupakan aja. Karena kondangan di pulau yang cuma lebih gede dikit dari Pulau Komodo ini gak bakal dalam ballroom hotel anyway kan. Begitupun dengan sweater-sweater lucu tapi saya tinggalnya di Langkawi, man who gonna wear sweater and going to the beach? So yes I have all those clothes type but I keep it as necessary.
- Terima kasih atas kehadiran sustainability clothing store seperti The Fashion Pulpit yang membuat  saya jadi bisa swap baju yang saya punya. Jadi 2 minggu sebelum saya pindah ke Langkawi saya menyempatkan kesana membawa 21 buah baju untuk saya swap. Baju ini isinya adalah “city style”, baju-baju praktikal yang saya pakai ketika di singapore bernuansa netral, no motive or prints at all. Sedangkan saya butuh outfit yang lebih casual, lebih ‘ceria’ lebih beach vibe, lebih summer and holiday kinda like buat hidup di Langkawi. Jadi sweater dan blouse-blouse dan jeans (yes now I don’t have jeans, I’m wearing shorts here!) saya swap dengan dress linen, casual jumpsuit, checkered and floral top, and blue navy striped skirt. In total i got 15 “new” clothes without worrying the space of my wardrobe going to be heheh.


- Storage is always be the challenge.
Makanya teknik “folding and stand it upright” ala orang Jepang ini sangat-sangat membantu banget. Solusinya adalah laci. Sesederhana itu. Bagi yang rencana beli lemari, bisa invest di chest drawers. Sungguh baju itu kalau udah dilipat kayak gini bakal menghemat tempat banget daripada dilipat biasa dan diletakkan di lemari biasa. Saya pikir awalnya ini KonMari yg menemukan teknik storing baju yang kayak gini gaktaunya pas ngobrol sama temen yang orang Jepang, it’s sooooo commoooonn lipat baju kayak gitu, so when we pull the drawer you can see everything. Temen saya malah bingung bilang “Kenapa lo lipet baju kayak gitu kan susah nyusunnya terus banyak yg digantung pula? Gw malah kaget tau orang-orang itu ternyata kebanyakan menggantung baju instead of melipat.” So yes, drawers and stand it upright! Latji adalah koentji!


- When I can afford it doesn’t mean I should.
Point ini saya suka banget karena berhubungan dengan Islam. Bahwa semuanya koleksi yg berlebihan baik pakaian, tas atau sepatu yang tidak terpakai itu ada hisabnya di kemudian hari. Then why I should bother dengan keinginan saya untuk nambahin koleksi yang ujung-ujungnya bakal bikin susah urusan akhirat. Hidup secukupnya saja dan jangan berlebihan. How beautiful having Islam perspective di segala aspek kehidupan.


To be honest when I have those 3 gaya hidup yang saya gabungkan, saya lebih mindful terhadap kehidupan saya. Saya merasa lebih damai, lebih contented, tidak lagi stress cuma mikirin benda ini mau ditarok dimana, mau diberesin kemana kok banyak banget, dsb. Really reducing my belongings to be a perfect amount that I truly need it make me less headache. Kenapa? Kalau kata  Marie dalam bukunya all objects around us are sending messages, that creates noise in our mind yang bikin kita kepikiran. Saya juga baru nyadar liat kaos kaki lari ada 4 pasang, padahal lari aja cuma sesekali, punya 1 sudah cukup, 2 kalau mau ada spare, lalu 2 lagi buat apa? Nah noise kayak gitu. Belum baju kekecilan yang buat noise “Kapan ya gue bisa muat lagi pake baju itu?” Move on!


So now, do I still wanna have bigger wardrobe so I can store more clothes? Hmmm maybe, or I just simply can have drawer instead. Kondisi lemari saya yang sekarang memang cukup tapi secara estetika masih kelihatan padat, sedangan saya maunya yang clean look, airy kayak di toko-toko baju gitu, But yang jelas gak pernah kepikiran lagi untuk punya closet segede kamar kayak yang ada di film or majalah dekor or Pinterest. Maybe I want but gak sebesar itu, biar bisa display tas sepatu juga kan (sekali lagi alasan display, estetika biar lebih berasa di toko baju walau secara fungsi dengan lemari sebesar ini saya udah cukup :), sebesar kamar mandi aja boleh lah,.. Asal jangan kamar mandi Four Seasons (karena gedenya lebih gede daripada kamar tidur gueeeee!)


Terima kasih telah membaca post ini. Semoga bermanfaat bagi kalian yang sering curhat ke saya dan nanya solusi akan baju kebanyakan sampai numpang ke lemari kamar sebelah dan gimana caranya bikin lemari jadi rapih. Selamat decluttering!

You Might Also Like

1 comments

  1. Hi kak , mau tanya laci putih transparan yg di dalem lemari kk itu namanya apa / beli dimana ya?
    Mau tata kerudung2 ala konmari di laci itu cakep kayaknya hehe 😄

    ReplyDelete